Kuesioner Pengunjung-


PERUBAHAN PARADIGMA PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

PERUBAHAN PARADIGMA PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

Oleh : Gevisioner / Sekretaris Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Riau

 

PENDAHULUAN

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia  yang paling utama dan pemenuhannya merupakan  bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun  1945 sebagai komponen dasar untuk  mewujudkan  sumber daya manusia yang  berkualitas. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, mengamanatkan bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu. Oleh karena itu penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan  berdasarkan  kedaulatan  pangan,  kemandirian  pangan, dan ketahanan pangan.

Temuan empiris ketahanan pangan saat ini,  menunjukkan bahwa indeks ketahanan pangan negara kita dibanding negara ASEAN lainnya masih jauh tertinggal, meskipun dalam tiga tahun terakhir indeks mengalami peningkatan. Indeks ketahanan pangan Indonesia pada tahun 2017 berada pada posisi 69 dari 113 negara di Dunia (GFSI, 2017), masih jauh tertinggal dibanding Singapore (rangking 4), Malaysia (rangking 41), Thailand (rangking 55).  Temuan lain juga menunjukkan bahwa ketersediaan pangan yang sudah aman di tataran nasional, wilayah provinsi maupun kabupaten/kota, ternyata tidak menjamin tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga (Rahman, 2010).   Hal ini dapat dilihat masih tingginya persentase penduduk yang mengalami rawan pangan. Selama  5 tahun terakhir  (2011 – 2015), menunjukkan  kecenderungan meningkatnya penduduk yang mengalami rawan pangan di Indonesia.  Pada tahun 2011 persentase penduduk yang mengalami rawan pangan 46,47 persen, meningkat menjadi 50,10 persen persen pada tahun 2015 (Badan Ketahanan Pangan, 2014).  sedangkan pada periode tersebut ketersediaan pangan ditingkat nasional/regional telah mencapai 3.500 Kal/kapita/hari dan protein 89,2 gram/kapita/hari (Dewan Ketahanan Pangan, 2015).

Lambatnya perkembangan ketahanan pangan di Indonesia, diantaranya disebabkan implementasi beberapa kebijakan ketahanan pangan yang belum padu dan bersinergi dengan kebijakan pembangunan lainnya. Kondisi ini mengakibatkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini masih menghadapi ancaman yang tidak ringan  (Darwanto, 2005).  Oleh sebab itu penanganan masalah ketahanan pangan tidak cukup hanya fokus peningkatan ketersediaan, namun masalah aksessibilitas pangan baik secara fisik, ekonomi dan  sosial mendapat fokus penanganan secara proporsional (Hanani, 2012).

KEKELIRUAN CARA PANDANG

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem, yang terdiri dari tiga kompenen utama (sub sistem) yaitu ketersediaan pangan (food availability), kemudahan memperoleh pangan/ keterjangkauan (food accessibility), dan pemanfaatan pangan (food utilization). Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga sub sitem tersebut (Chung, et al, 1997)  Ketahanan pangan setidaknya mengandung dua unsur pokok, yaitu ketersediaan pangan yang cukup dan aksebilitas masyarakat terhadap pangan  yang memadai, kedua unsur tersebut mutlak terpenuhi untuk mencapai derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Arifin, 2004).  Akses pangan adalah kondisi penguasaan sumberdaya (sosial, teknologi, finansial, alam, manusia) yang cukup untuk memperoleh dan/ atau ditukarkan untuk memenuhi kecukupan pangan (Bappenas, 2010).

Kerawanan pangan merupakan refleksi penduduk tidak dapat mengakses pangan, yang tidak diinginkan dalam pembangunan pangan di negara manapun, karena kerawanan pangan tidak saja berpengaruh terhadap kerawanan gizi, tetapi dapat  menyebabkan kerawanan sosial, politik dan keamanan (Ariani, dkk, 2008).  Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami oleh suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu tertentu  untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat (Khomsan, 2012).

Dalam mengimplementasi pembangunan ketahanan pangan, pemerintah telah membuat pedoman dan aturan-aturan terkait pembangunan ketahanan pangan dan gizi. Berberapa regulasi yang terkait dengan pembangunan ketahanan pangan di Indonesia antara lain : a) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Ketahanan Pangan, b) Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, c) Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 65/Permentan/OT.140/12/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota.  Hanya dalam perjalanannya, masih sering terjadi kekeliruan cara pandang terhadap pembangunan ketahanan pangan dan gizi selama ini. Lima kekeliruan cara pandang yang masih berlanjut hingga ini antara lain adalah ; 1)  Pengertian pangan masih disamakan dengan beras, 2) Ketersediaan pangan disamakan dengan produksi pangan, 3) Ketahanan Pangan merupakan masalah sektor pertanian, 4) Gizi kurang dan gizi buruk  adalah masalah sektor kesehatan,  dan 5) Rawan pangan, gizi kurang dan gizi buruk semata-mata karena kemiskinan.

Sumber kekeliruan ini menurut penulis disebabkan keberadaan kelembagaan ketahanan pangan di pusat yang kurang tepat, dimana Badan Ketahanan Pangan masih berada dibawah Kementerian Pertanian. Kondisi ini mengakibatkan pandangan pemegang kebijakan ketahanan pangan dimanapun berada baik di tingkat nasional hingga kabupaten / kota ketahanan pangan merupakan tanggung jawab kementerian pertanian. Sedangkan sudah diketahui tugas pokok kementerian pertanian adalah meningkatkan produksi pangan, yang merupakan salah satu bagian dari sub sistem ketersediaan pangan. Hal ini didukung oleh sebagian besar pendapat peserta Widya Karya Pangan dan Gizi Nasional X pada Tahun 2012, yang menyatakan bahwa lambatnya penangganan permasalahan ketahanan pangan di Indonesia disebabkan kelembagaan yang kurang tepat. Sedangkan kelembagaan ketahanan pangan baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sudah pada posisinya.

         Sedangkan pada Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang pangan pada pasal 126 dinyatakan dalam hal mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan nasional, dibentuk lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 127 Lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan. Pasal 128 Lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang Pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 129 Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 sampai Pasal 128 diatur dengan Peraturan Presiden. Artinya diperlukan kelembagaan pangan yang mengimplementasikan fungsi-fungsi ketahanan pangan pada satu lembaga, bukan seperti saat ini.

 

PENUTUP.

Ketahanan pangan merupakan paradigma yang secara resmi digunakan pemerintah dalam pemenuhan pangan penduduk dan pembangunan pertanian pangan umumnya. Pendekatan kedaulatan pangan memiliki sisi humanis dan ekologis yang kurang diperhatikan pada paradigma ketahanan pangan. Kedaulatan pangan dapat melengkapi dan menyempurnakan kelemahan konsep ketahanan pangan, mengingat kinerja kelembagaan ketahanan pangan masih lemah yang antara lain ditunjukkan dengan lemahnya koordinasi dan sinergi di dalam dan antar instansi terkait. Kebijakan pangan dan gizi masih berjalan secara parsial, dan beberapa kekeliruhan cara pandang dalam masyarakat dalam menangani permasalahan ketahanan pangan. Perencanaan dan kebijakan secara komprehensif antar sector dan pelaksanaan program ketahanan pangan belum optimal.  Untuk  mempercepat terwujudnya ketahanan pangan dan gizi yang berkelanjutan di Provinsi Riau khususnya dan Indonesia pada umumnya,  Indonesia harus mentransformasi kelembagaan pangan menjadi lebih baik karena selama ini tidak mampu mengikuti irama perputaran roda perekonomian, system ekonomi-politik dan kondisi eksternal lain yang berubah demikian cepat. Hal ini dapat dimulai dari lembaga ketahanan pangan di daerah, untuk dapat meningkatkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan,  memperdalam dan mensinergikan secara berkelanjutan terhadap  indikator-indikator pencapaian standar pelayanan minimal ketahanan pangan dan gizi.

Komentar Disqus

blog comments powered by Disqus

Kontak Kami

Jl. Kuantan Raya No.27, Sekip, Kec. Lima Puluh, Kota Pekanbaru, Riau 28142
Telp. (0761) - 20820
diskepang@riau.go.id / infodiskepang@riau.go.id

Back to Top